Kamis, 07 Mei 2009

Wiranto Dalam Transisi Orde

Militer bagi Indonesia adalah sesuatu yang berperan begitu besar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka pada tahun 1945. Hampir seluruh peristiwa besar negeri ini melibatkan unit militer sebagai aktor utama maupun pendukung. Dalam pemerintahan dan perpolitikan Indonesia sendiri, militer sering aktif mempengaruhi kebijakan berlingkup nasional. Penyimpangan fungsi asli militer terhadap negara ini paling mudah terlihat pada rezim Soeharto, di mana pada masa pemerintahannya dikenal istilah dwifungsi ABRI ( fungsi militer dalam masyarakat yang bukan hanya sebagai penjaga keamanan dan stabilitas, namun juga merangkap sebagai unit aktif dalam sektor politik, sipil / sosial dan bisnis berskala makro ).

Seiring mulai jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, keberadaan dwifungsi ABRI mulai dipermasalahkan. Dominasi ABRI di segala lini kemasyarakatan dianggap sebagai perpanjangan tangan Soeharto, yang berlatar belakang militer, untuk mempertahankan keberlangsungan kekuasaannya dan kediktatorannya. Suasana anti-Soeharto yang semakin merasuk dalam masyarakat, membuat masyarakat sedikit demi sedikit mengurangi kepercayaan mereka kepada ABRI.

Sesuai dengan fungsi utama meiliter, yaitu sebagai penjaga keamanan dan stabilitas negara, militer mencoba mengendalikan keamanan dalam situasi yang semakin rusuh. Di tengah maraknya konflik frontal antara militer, sipil dan pemerintah, terjadi perebutan dan perlombaan dalam kubu interen militer yang melibatkan dua petingginya yaitu Wiranto dan Prabowo Subianto.

Pergerakan Wiranto pada kubu ABRI pada Februari 1998 maupun terhadap Menhankam pada Maret 1998, membuat Prabowo tidak ingin ketinggalan aksi. Wiranto oleh para bawahannya diharapkan dapat menggeser dan memangkas peran dan pengaruh Prabowo dalam pemerintahan. Bagi prabowo sendiri dan pendukung militernya, sesuatu yang besar harus dilakukuan, apakah itu melakukan sesuatu yang berujung pada penguntungan Soeharto, atau melakukan upaya pendiskreditan terhadap Wiranto. Namun kedua hal itu sangat sulit untuk dilakukan mengingat kedaan masyarakat dan pergerakannya yang saat itu anti terhadap Soeharto.

Keputusan yang dibuat pemerintah untuk memotong subsidi BBM ( Bahan Bakar Minyak ) dan melonjakkan harganya membuat masyarakat Medan, Sumatera Utara melakukan aksi protes dan berujung pada aksi kerusuhan pada tanggal 5 Mei 1998. Banyak di kota-kota lain di Sumatera Utara yang mengalami kerusuhan serupa. Masyarakat melakukan pengrusakan brutal terhadap barang-barang milik masyarakat etnis Cina. Satu minggu setelah kejadian tersebut, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak saat melakukan demonstrasi menentang tirani Soeharto di Jakarta. Penembakan yang dilakukan oleh orang tak dikenal berseragam polisi tersebut, diduga merupakan pelaksanaan dari perintah Mayjen Hanami Nata ( Komandan Polda Metro Jaya ), yang juga merupakan kerabat dekat Prabowo dan Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, Kodam Jakarta. Insiden tersebut menjadi panggilan untuk masyarakat Indonesia untuk melakukan aksi yang lebih besar lagi.

Kekerasan yang hampir serupa juga terjadi di Solo, Surabaya, dan Palembang. Sebagai respon atas kasus ini, Komnas HAM lalu mendirikan Tim Pencari Fakta ( TPF ) insiden kekacauan 13 – 15 Mei. Dari kelima kasus kekacauan yang terjadi, disimpulkan bahwa kasus tersebut sengaja dirancang dan diorganisasi dengan baik lewat provokasi-provokasi. TPF selanjutnya mencatat bahwa ada kemiripan pola dari kekacauan yang terjadi di setiap kasus tersebut. Ditambah tindakan elemen militer dalam menciptakan ketidaknyamanan. Banyak saksi kekacauan saat itu yang mengatakan bahwa kerusakan seakan dirancang oleh Kopasus yang memobilisasi preman-preman untuk memprovokasi penyerangan terhadap etnis Cina. Kopasus sendiri saat itu dipimpin oleh Mayjen Muchdi Purwopranjono, orang Prabowo.

Atas kekacauan yang terjadi saat itu, Wiranto tidak dapat lagi mempercayai pasukan bersenjata elit yang berada di bawah perintah Sjafrie, Muchdi dan Prabowo. Wiranto melihat pasukan dibawah jenderal-jendral tersebut terlalu lamban dalam mengatasi kekacauan yang terjadi untuk mengembalikan ketenangan di Jakarta. Hanya dua hari setelah kekerasan massa yang dibuat oleh Prabowo dan Sjafrie, meraka membuat keberadaan mereka dirasakan dengan berdiri di depan pasukan bersenjata dan memerintahkan mereka untuk mengembalikan keteraturan dan stabilitas. Hal ini menegaskan bahwa ia menyiratkan ketidakefektifan kepemimpinan Wiranto. Pada tanggal 18 Mei, Prabowo, melalui Mba’ Tutut, mencoba menyarankan kepada Soeharto untuk mengganti Wiranto dan menyatakan bahwa negara dalam keadaan darurat. Sepertinya sangat mungkin bahwa sebenarnya teror pada bulan Mei dirancang oleh Prabowo dan para pengikutnya. Pertarungan faksi dalam militer telah menjerumus ke ranah publik, dan yang lebih berbahaya lagi, hal ini mengakibatkan ketidaknyamanan umum dan terutama pada etnik tertentu.

Dalam melawan taktik teror ini, Wiranto melakukannya dengan tanpa kekerasan, seperti menghadiri dialog-dialog yang dipimpin oleh kritikus pemerintah. Adalah Kassospol Letjen Soesilo Bambang Yudhoyono, pemimpin pasukan intelektual. Pada 16 Mei, satu hari setelah kekacauan di Jakarta, dia menghadiri pertemuan anti-Soeharto di Universitas Indonesia, yang dihadiri oleh banyak mahasiswa, para aktivis dan kritikus pemerintah. Pertemuan itu kemudian ddisimpulkan dengan permintaan publik akan turunnya Soeharto, dan Yudhoyono menyebutnya dengan aspirasi dari masyarakat yang harus didengarkan oleh ABRI dan pemerintah. Wiranto juga tidak hanya diam, namun bergerak melawan para elemen militer yang berada di bawah Prabowo. Setelah mengeahui aturan main dari Prabowo dan sekongkolannya selama kekacauan, Wiranto segera melaporkan temuannya pada Soeharto, yang kemudian merasa marah kepada Prabowo. Wiranto kemudian mengikuti saran dari pendukung terdekatnya yang kemudian menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan untuk mengembalikan stabilitas dan ketertiban, adalah dengan pengunduran diri Soeharto. Wiranto lalu mengaku kepada publk bahwa ia telah diberi mandat oleh Soeharto untuk melakukan tindakan yang diperlukan, apapun itu, untuk menciptakan keamanan dan stabilitas.

Setelah melakukan petemuan dengan Wiranto, Soeharto memutuskan bahwa tanggal 21 Mei adalah dari pengunduran dirinya dari kursi kepresidenan. Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mendukung pemerintahan baru di bawah B.J. Habibie, yang otomatis menjadi presiden setelah pengunduran diri Soeharto, dan keamanan dan keselamatan atas Soeharto akan dijaga. Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan dirayakan oleh masyarakat luas. Terutama bagi para aktivis-aktivis yang anti-Soeharto, kejatuhan tirani itu seolah mimpi yang menjadi kenyataan.

Setelah mengukuhkan posisinya dengan menggunakan media berupa transfer kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie, Wiranto berhasil melakukan persetujuan dengan sang presiden baru dalam memecahkan masalahnya dengan Prabowo. Wiranto menggantikan Prabowo dengan pengikut Wiranto yang bernama letjen Johny Lumintang sebagai Komandan Kostrad untuk sementara. Prabowo diperintahkan untuk mengepalai institut pendidikan Sesko ABRI di Bandung. Mengikuti gerak Prabowo, Muchdi dan para pengikut Prabowo lainnya di Kopassus juga dipindahkan dari posnya.

Dari deskripsi yang terurai di atas, terlihat bahwa pihak militer mempunyai peran yang sangat krusial dalam memfasilitasi dan memenejeri peristiwa Mei dan kelengseran Soeharto. Divisi internal ABRI sendiri, semakin mempertajam perannya setelah pengangkatan Wiranto sebagai Komandan ABRI dan Menhankam. Sementara Prabowo, dalam konteksi ini, mengadopsi gerakan-gerakan garis keras –seperti penculikan dan penyiksaan terhadap pihak-pihak yang anti pemerintah dan para aktivis – dalam melawan peuntutan pengunduran diri Soeharto dan tuntutan reformasi. Sedangkan Wiranto, lebih memilih bergerak dengan jalan dialog dan aksi intelektual.

Pasca lengsernya Soeharto, militer Indonesia punya dua agenda penting yaitu, mencoba keluar dari kepemimpinan Prabowo dan memulihkan nama baik militer dari kekacauan Mei yang terjadi. Selanjutnya, diadakan reformasi militer ( de-Prabowo-isasi ) dalam kubu internal militer. Yudhoyono lalu mendeklarasikan bahwa ABRI secara penuh berkomitmen untuk bereformasi, termasuk reformasi dalam dwifungsi, empat hari setelah insepsi dari pemerintahan Habibie.

Untuk memantapkan kepemimpinannya di ABRI, Wiranto mencoba melaksanakan tugas berat untuk memulihkan nama baik dan kredibilitas ABRI di mata masyarakat. Tugas ini semakin berat ketika Habibie membuka kebebasan aktivitas bagi publik dan penjaminan atas kebebasan pers. Atas dasar pernyataan tersebut, media mulai menelusri dan mempublikasikan tindak-tanduk militer dalam kekacauan Mei, yang kemudian berlanjut dengan isue pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pihak militer pada kekacauan Mei. Pelabelan ABRI sebagai produk orde baru membuat tekanan publik dan media berpusat pada Wiranto, yang merupakan pimpinan ABRI.

Dalam upaya mengurangi tekanan tersebut, Wiranto mencoba mengutus para pegawai intelektualnya antara lain Soesilo Bambang Yudhoyono, Agus Widjojo dan Agus Wirahadikusumah untuk mengurangi kritik dari sosial, menaikkan kembali nama militer Indonesia, dan mengembalikan penghargaan masyarakat terhadap militer Indonesia. Dengan wewenang dari Wiranto, kemudian Yudhoyono dengan segera mempublikasikan rencana ABRI untuk menurunkan tingkat aktivitas politiknya. Dengan dipimpin Yudhoyono, reformasi visi ABRI muncul pada bulan Juni. Dalam pernyataan yang berjudulkan “ABRI dan Reformasi”, pihak ABRI menyatakan bahwa mereka secara penuh mendukung transisi kepemimpinan nasional dari Soeharto ke Habibie. Pernyataan tersebut juga membahas mengenai revisi implementasi dwifungsi ABRI.

Dalam meanggapi kritik deras mengenai dwifungsi, Wiranto memutuskan untuk mengurangi jumlah anggota ABRI di DPR dari 75 kursi menjadi 38 kursi. Wiranto juga memutuskan untuk mendeklarasikan bahwa ABRI tidak lagi memberikan dukungan kepada Golkar, yang disusul keputusannya yang ketiga untuk memisahkan kepolisian dari badan militer.agus Widjojo menyatakan bahwa pemisahan dua lembaga ini diharapkan menjadi langkah yang signifikan dalam mereformasi dan peningkatan profesionalitas militer.

Secara lebih eksplisit, reformasi di bidang militer, termasuk pembahasan mengenai dwifungsi ABRI terpampang di seminar yang diselenggarakan staf intelektual ABRI pada bulan September 1998 di Sosko ABRI. Seminar tersebut juga membahas mengenai pelanggaran HAM berat pada bulan Mei –diidentikkan dengan kasus tewasnya mahasiswa Trisakti. Widjojo menanggapi hal itu dengan berpendapat bahwa kebijakan ABRI tidak fleksibel selama Soeharto menjabat. Sebagian besar kebijakan ABRI di utamakan untuk memenuhi kepentingan Soeharto dan melenggangkan kekuasaannya agar lebih lama bertahan.

Seminar tersebut pada akhirnya menggeneralisasikan garis besar agenda reformasi yang disebut Paradigma Baru ABRI. Hal ini adalah suatu upaya untuk memposisikan kembali ABRI di masyarakat sebagai penjaga keamanan yang sejati. Keempat kunci aspek dari paradigma ini adalah:

1. Pembebasan ( tidak lagi aktif ) ABRI dari garis depan perpolitikan.

2. Memindahkan peran ABRI dari mengendalikan politik menjadi mempengaruhi politik.

3. Memindahkan komitmen politik ABRI dari garis depan atas sesuatu, dari peran langsung dan peran tidak langsung; dan

4. Membagi kekuatan dengan warga sipil.

Di saat ABRI mencoba untuk memulihkan nama baik dan kredibilitasnya serta mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan jalan membuat prioritas agenda reformasi militer, KSAD Subagyo membuat proposal, yang kemudian disetujui Wiranto, untuk menambah jumlah Kodam dari semula 10 menjadi 17. Peningkatan jumlah kodam ini bertujuan untuk mencegah disintegrasi nasional dan memukul mundur pergerakan separasi di Aceh, Ambon, Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi, Timor-Timur, dan daerah lain. Namun keputusan ini mendapat respon berupa kritik dari para kritikus umum dan pemerhati HAM. Menanggapi hal tersebut, Wiranto secara tegas mengatakan bahwa tugas dari militer adalah menjaga keamanan dan stabilitas negara, dan pembentukan Kodam baru adalah bagian dari menjaga keamanan dan stabilitas negara, sehingga hal itu tidak masalah untuk dilakukan.

Langkah politik Wiranto mulai nyata terlihat saat acara pidato akuntabilitas Habibie pada tanggal 18 Oktober. Dalam momen itu, Wiranto tampil di depan umum lewat televisi dan menyampaikan bahwa dirinya tidak mencalonkan diri untuk menjadi wakil presiden untuk mendampingi Habibie ( dari Golkar ), karena Wiranto saat itu tidak menerima surat permintaan yang meminta dia untuk bergabung dengan Golkar secara formal. Pernyataan Wiranto tersebut merupakan tamparan bagi kubu Golkar karena sebelumnya Akbar Tandjung, ketua umum Golkar, telah memerintahkan kepada Habibie untuk meminta kepada Wiranto untuk bersedia mencalonkan diri menjadi wakil presiden. Dan dari pernyaaan Wiranto di atas, jelas, Wiranto menolak permintaan dari Habibie dan Golkar. Penolakan ini dilakukan Wiranto karena ia tidak ingin mengembalikan negara pada keresahan karena bergabungnya petinggi militer dengan Golkar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar